Sejak aku duduk di
bangku kelas 4 SD aku mengenalnya sebagai sahabat yang sangat menyenangkan. Aku
mengenalnya ketika aku bergabung di Sekolah Minggu. Saat itu dia tipe orang
yang acuh, dingin, dan dia tidak ada perasaan ingin berkenalan denganku. Namun bagaimana
juga, waktu dan Tuhanlah yang mempertemukanku sehingga kami saling mengenal. Kehangatan
persahabatan antara aku dengannya tak berhenti di situ, salah satu kakak pengajar
menawarkan sesuatu padaku dan teman – temanku, yaitu membentuk sebuah band. Setelah
kakak pengajar menguji kemampuan kami berlima, akhirnya aku terpilih menjadi
vokalis. Dan temanku itu menjadi drumer. Ketika dia memainkan drum dengan wajah
polosnya, sempat aku tertawa kecil dan berkata dalam hati, “ Terima Kasih
Tuhan, Kau memberiku hadiah terindah daripada barang – barang yang berharga,
aku bahagia, Kau pertemukanku dengannya dan bersahabat hingga detik ini “
Dari band itulah, kami
berlima semakin akrab dan mengenal satu sama lain. Kemana – mana, kita selalu
bersama, saling berbagi makanan, berbagi kejutan. Indah sekali saatku mengenang
semua hal itu. Ada 1 hal yang tak kulupa dari si drumer ini, dengan sengajanya
ia memelukku dari belakang dengan tersenyum. Aku sempat bingung, apa maksudnya.
Kemudia aku bertanya padanya, dan singkat jawabannya, “ Aku sayang kamu “. Oh my
God, itu membuatku malu karena banyak teman – teman berada di sekelilingku. Aku
tahu dia bercanda, karena dia memang orang yang suka humor. Tanpa komando,
semua temanku ketika mendengar jawabannya tertawa terbahak – bahak. Aku hanya
menahan malu atas perlakuan itu, tapi bagaimana juga, dia memang dia, membuat
suasana saat menjadi hidup penuh tawa bahagia.
“ Terima kasih pujianmu
itu, menyakitkan tahu! “
“ Ah masak sih? Aku kan
memang sayang kamu “
“ Sayang sih sayang,
tapi tidak usah berlebihan. Sampai – sampainya kamu memelukku. Apa kamu tidak
malu dengan teman – teman? “
“ Buat apa malu “
“ Jangan bertindak
bodoh. Sudah ah! Gak lucu “
“ Hei! Mau kemana kamu.
Masak aku ditinggal sih? “
“ Mana urus! “
Aku berlari keluar
dengan wajah marah, walau sebenarnya aku hanya bercanda. Hari itu membuatku
kembali ceria setelah mendapatkan masalah di sekolah karena dikira aku merusak
taman depan kelas.
“ Hai! “
“ Hai juga. Masih berani
ya SMS aku? “
“ Hahaha. Jangan begitulah,
tadikan aku hanya bercanda. Kamu nih yang tidak bisa diajak bercanda “
“ Tapi bercandamu itu
berlebihan. Dikira nanti kita ada apa – apa. “
“ Bagus dong! Hahahaha “
“ Kamu mulai lagi. Kamu
senang ya dianggap tidak normal sama teman – teman? “
“ No problem. Asalkan sama
kamu! “
“ Hush! Gila ya kamu,
kamu sahabat TERANEH bagiku. “
“ Hahahaha. Aku itu
melakukan hal ini agar kamu tidak bosan denganku. Karena dari kemarin kita
latihan band, ku lihat kamu suntuk banget. Jadi aku hibur kamu aja biar kamu
bahagia. Sorry kalau buat kamu terganggu. “
“ Ya Tuhan, baik banget
kamu ternyata. Sampai – sampainya kamu memahami perasaanku saat itu. Terima
kasih ya. “
“ Iya sayangku. Hahaha “
“ Oke lah sahabat
tersayang. “
Setelah beberapa bulan
kami tidak latihan band, karena kami mempunyai kesibukan masing – masing. Aku sudah
kelas 6, sehingga aku harus terfokuskan untuk Ujian Negara. Ingin sekali aku bertemu dengan teman – teman,
terutama si drumer itu. Tapi keadaan mulai berubah. Aku sudah tak pernah melihatnya
datang ke gereja. Aku bingung, apa yang membuatnya jarang datang? Akhirnya ku tanya
pada temanku. Temanku berkata, “ Sabarlah. Sahabatmu sedang tak sadar. Dia mulai
bergaul dengan teman – teman yang tak punya aturan, dia sudah mengenal rokok
dan terkadang, dia membeli minuman keras dan meminumnya bersama teman –
temannya itu “. Aku pun terkejut mendengar pernyataan ini. Apakah iya? Aku setengah
percaya dan setengah ragu. Alhasil, aku mencoba berkomunikasi dengannya lewat
sosial media. Benar apa yang dikatakan
temanku, dia sudah berubah. Dia bukanlah dia yang ku kenal dulu. Ternyata inilah
alasanya dia tak pernah berkomunikasi denganku lagi dan jarang berangkat ke
gereja. Aku sudah berusaha menyadarkannya, namun dia menunjukan sikap penolakan
dan berulang - ulang membantahku. Sakit hati yang kurasakan ketika ia seperti
itu. Entahlah, kapan dia sadar. Namun, tak berhenti aku berharap pada Tuhan
agar dia kembali pada dirinya yang dulu walau tidak 100% seperti apa yang
kuharapkan.
Komentar
Posting Komentar