Langsung ke konten utama

Sinopsis Novel Sang Pencerah

Ahmad Dahlan adalah seorang pendiri organisasi Muhammadiyah yang penuh dengan tantangan dalam mengembangkan dan mengajarkan Agama Islam. Banyak dari pemikirannya yang ditentang keras oleh keluarga, kerabat, dan lingkungan masyarakat Kauman. Sejak kecil Dahlan memiliki pemikiran modern yang berbeda dengan saudaranya mengenai tradisi yang mengaitkan agama yang tidak masuk akal, seperti yasinan,  ruwatan, dan padusan. Baginya yang seperti itu tidak ada dalil yang mewajibkannya sehingga anggapan tentang tradisi bagi Dahlan dinilai salah kaprah.
Sejak kecil Dahlan hidup dalam lingkungan pesantren yang membekalinya pengetahuan tentang agama dan bahasa Arab sehingga pada usia lima belas tahun beliau sudah menunaikan ibadah haji yang selanjutnya menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Bekal ilmu yang didapatnya selama di Makkah, membuatnya semakin intens dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam. Adanya interaksi dengan pembaharu tokoh-tokoh Islam, berpengaruh dengan semangat jiwa dan pemikiran Dahlan. Semangat jiwa dan pemikiran itu yang kemudian diwujudkan dalam organisasi keagamaan Islam melalui Muhammadiyah. Muhammadiyah bertujuan untuk memperbaharui paradigma masyarakat mengenai pemahaman keislaman yang ortodok. Beliau memandang apabila masyarakat masih terus terkekang dalam keislaman yang ortodok akan menjadikan umat Islam menjadi statis dan kacau. Hal itulah yang membuat Dahlan untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni yang berasaskan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Sepulang dari Makkah saat Darwis berusia dua puluh tahun, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan dan diangkat menjadi khatib amin di lingkungan kesultanan Ngayogyakarta. Tak lama pula beliau menikah dengan wanita yang bernama Siti Walidah binti Haji Fadlil yang masih sepupunya. Siti Walidah yang lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dhalan adalah pendiri organisasi Aisyiyah. Dari pernikahannya dengan Nyai Dahlan, Dahlan dikaruniai enam anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Sebagai khatib amin di Masjid Gedhe Kauman, Dahlan menyampaikan pemikiran-pemikiran yang logis dalam ajaran Agama Islam, akan tetapi pemikiran-pemikirannya selalu ditentang orang-orang di dekatnya, baik kakak ipar maupun pengurus Masjid Gedhe. Dahlan mengalami kesulitan dalam menyampaikan pemikirannya itu, bahkan beliau juga disebut sebagai kyai kafir yang telah menyimpang dari Agama Islam yang berperilaku kebarat-baratan. Alasan tersebut didasari atas Dahlan selalu memainkan alat musik biola dalam pengajarannya dan menggunakan jas seperti orang Belanda. Sebutan kyai kafir bagi Dahlan sudah tersebar sampai keluar Kauman, apalagi pengubahan arah kiblat Masjid Gedhe Kauman. Menurutnya, arah kiblat Masjid Gedhe salah dan harus dimiringkan beberapa derajat lintang timur agar sesuai arah kabah. Semua orang yang ada di Masjid Gedhe terkejut dengan perkataan Dahlan sehingga menimbulkan perdebatan dan emosi kyai yang lain. Bukan hanya kyai Penghulu Kumaludiningrat saja yang tidak mengindahkan pemikiran Dahlan tetapi juga kakak ipar mereka yakni kyai Muhammad Noor dan kyai Muhsin, namun kyai Muhammad Saleh yang bisa mengerti akan keluh kesah Dahlan akan pembaharuan agama Islam. Puncak kemarahan orang-orang yang tidak suka dengan pemikiran Dahlan dengan membongkar dan membakar Langgar Kidul tempat beliau dan muridnya mengadakan pengajian. Pembongkaran dan pembakaran Langgar Kidul tidak mendapat perlawanan dari Dahlan dan murid-muridnya hingga beliau berniat untuk pergi meninggalkan Kauman namun dicegah oleh kiai Saleh kakak iparnya. Akhirnya Dahlan tetap tinggal di Kauman dan mendirikan Langgar Kidul yang sesuai dengan arah Kabah yang dibantu dengan kyai Saleh dan orang-orang terdekatnya. Dari kejadian tersebut kyai Dahlan tetap bertahan dengan pemikiran­nya.Tak lama berselang dari kejadian tersebut, beliau bergabung dengan perkumpulan Budi Utomo dan mengajar di Kweekschool (sekolah milik orang Belanda). Dalam pertemuannya di sekolah Kweekschool beliau mengajar agama kepada peserta didiknya dengan metode yang modern, misalnya dengan meng­gunakan biola. Dalam kegiatan belajar-mengajar tersebut, beliau menyiratkan kepada peserta didiknya bahwa Islam bukanlah agama yang ortodok yang harus dikhawatirkan bagi orang-orang.
Dahlan sangat senang atas diperbolehkannya ia mengajar di Kweekschool dan menginginkan untuk mengajar lagi di sana. Kesempatan itu pula yang mem-buat Dahlan merubah penampilannya seperti guru-guru di Kweekschool namun tidak melepaskan surban sebagai identitasnya sebagai muslim. Perilaku Dahlan itu membuat orang-orang di sekitarnya semakin bertambah tidak menyukiainya dan menganggap kafirnya sudah akut, terlebih para santrinya juga menganggap Dahlan sudah berubah. Anggapan seperti itu tidak menghentikan langkah Dahlan untuk berbuat sesuatu yang dapat mengubah ajaran Islam yang murni. Suasana mulai memanas tatkala Dahlan membuat organisasi Islam yang dibantu santri pengajiannya melawan ketidaksetujuan dan pertentangan dari kyai Penghulu Kumaludiningrat. Atas kegigihandan kesabarannya itulah yang pada akhirnya organisasi Muhammadiyah mendapat persetujuan dari berbagai pihak dan Dahlan sebagai presidennya. Tanggal 18 November 1912 diresmikannya Muhammadiyah dan perseteruan Dahlan dengan kiai Penghulu Kumaludiningrat juga telah usai dengan diakhiri kebahagiaan walaupun Dahlan tidak menjabat sebagai khatib amin di Masjid Gedhe Kauman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS PUISI " SEPISAUPI "

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEPISAUPI Sepisau luka sepisau duri Sepikul desa sepukau sepi Sepisau duka serisau diri Sepisau sepi sepisau nyanyi Sepisaupa sepisaupi Sepisapanya sepikan sepi Sepisaupa sepisaupi Sepikul diri sekeranjang diri Sepisaupa sepisaupi Sepisaupa sepisaupi Sepisau sepisaupi Sampai pisaunya ke dalam nyanyi Oleh : Sutardji Calzoum Bahri A.     Analisis Puisi “ SEPISAUPI “.   Pendahuluan Sastra dengan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990: 218). Bahasa sebagai sistem tanda primer dan sastra dianggap sebagai sistem tanda sekunder menurut istilah Lotman (dalam Teeuw, 1984: 99). Bahasa sebagai sistem tanda primer membentuk model dunia bagi pemakainya, yakni sebagai model yang pada prinsipnya digunakan untuk mewujudkan konseptual manusia di dalam menafsirkan segala sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Selanjutnya,

Cerita Anekdot : Ego Pemimpin

Di suatu negara, ada sebuah penduduk yang terbagi menjadi 2 bagian. Apa yang dimaksud? 2 bagian ini adalah bagian barat dan bagian timur. Di bagian barat, penduduk sudah mengalami dan mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan, di bagian timur, penduduk belum mengalami dan mengikuti perkembangan zaman. Suatu saat, negara tersebut sedang dipimimpin seseorang yang mementingkan kepentingan pribadi. Penduduk sebenarnya bingung, karena tidak ada musyawarah atau voting namun ada pemimpin yang dipilih secara aklamasi oleh pemimpin lama. Dan terjadilah perubahan dahsyat. Pemimpin itu merubah sistem kenegaraan dan membuat Undang – Undang sendiri. Karena pemimpin ini terlahir di wilayah bagian Barat di dalam perubahannya, pemimpin tersebut menguntungkan penduduk yang tinggal di bagian Barat. Dia sosok pemimpin yang acuh dan tidak mau mendengarkan kritikan dari penduduknya. Dia mempunyai prinsip, “ akulah pemimpin yang pandai, paling benar dan semua tindakanku tidak pernah salah “. Di